Hargailah mereka


*Hargailah Mereka
Di kota2 besar, seperti Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Bandung, dll saya suka menggunakan jasa ojek, lebih tepatnya ojek online. Kenapa? Karena mereka bisa menaklukkan kemacetan. Pernah saya ada acara di Palembang, itu jalan ampun macetnya karena sedang ada pembangunan monorail, butuh 30-60 menit pakai mobil, tapi ojek, nyelip masuk gang-gang, simsalabim, sudah muncul di belakang gedung tujuan. 10 menit cukup. Saya merasa amat terbantu dengan ojek ini, sy tiba tepat waktu sebelum acara dimulai. Berapa tarifnya? Alamak, cuma Rp 12.000. Di Jakarta, tarifnya kadang lebih crazy lagi, hanya Rp 6.000 perak. Sy berkali2 mikir, ini sopir ojek rugi nggak sih dibayar hanya segini?
Saya juga sering menggunakan ojek untuk keperluan lain, mulai dari pesan makanan, antar barang, ambil barang, dll. Pesan makanan misalnya, tinggal duduk di rumah, minta beliin nasi goreng di warung nasi goreng paling terkenal (misalnya), saya tidak perlu capek2 antri, tdk perlu kena asap itu penggorengan, tidak perlu melewati jalanan macet malam hari, tidak perlu baju jadi bau, dan itu semua, tinggal duduk rapi di rumah, 30 menit kemudian, itu ojek datang, makanan siap. Berapa biayanya Rp 15.000. Itu kemewahan yg sangat murah. Sungguh biaya kenyamanan yg sangat murah.
Maka, hargailah mereka. Tentu tidak harus ngasih tips, dilebihkan bayarnya, tidak harus. Toh, tdk semua orang punya uang banyak utk ngasih tips. Tapi hargailah profesi mereka. Kadang sedih betul dengar cerita tukang ojek yang bilang, dia sudah capek2 beliin makanan, karena kelamaan, yang pesan malah marah2, tidak mau bayar. Padahal dia lama karena memang antrinya ampun2an, namanya rumah makan enak, pasti rame lah. Ada juga yang cerita, pembeli ogah bayar makanannya karena kelamaan nunggu hujan reda, dll, dll. Terus itu bagaimana nasib makanan? Dibawa ke rumah makan belum tentu bisa dibalikin. Ingat loh, tukang ojek sudah nalangin dengan uangnya sendiri.
Kita mungkin hanya butuh sedetik untuk ngamuk, bilang, saya customer, saya adalah pembeli, maka saya berhak dong dengan layanan terbaik, tapi ingat baik2, orang lain boleh jadi sudah habis2an memenuhi standar tersebut, tapi namanya juga di perjalanan, ada saja masalahnya. Tentu tidak menutup kemungkinan, di luar sana, juga banyak tukang ojek yang nyebelin, yang memang service-nya kusut sekali, tapi itu tidak semua.
Ah, dalam hidup ini, jika kita memang mau ‘menyebalkan’ memang mudah dilakukan. Ketemu Mamang Sayur di dekat rumah misalnya, dia bawa sayur kangkung satu ikat. Kita bisa saja menawar habis2an, sampai titik terendah, kemudian yes, senang sudah berhasil, bawa pulang itu kangkung, hingga kita lupa, beberapa menit kemudian, kita asyik2 saja membeli makanan di fast food ratusan ribu rupiah, sama sekali tidak pakai nawar. Beli baju mahal di mall, sama sekali tidak nawar--padahal kita tahu persis betapa premiumnya baju tersebut. Atau beli HP ber-merk yg sejatinya ongkos produksinya cuma 30% dari harga jual, kita tidak nawar toh? Lihatlah, Mamang Sayur tadi hanya untung 20% dari jualan kangkungnya (dan dia sudah capek mendorong gerobaknya), kita tawar habis2an. HP ber-merk, perusahannya untung 70%, kita bangga saja membelinya, sampai meluangkan waktu berlama2 pergi ke toko elektronik.
Pembantu di rumah, contoh lainnya. Kita sejatinya sangat terbantu oleh mereka. Gaji mereka? Tidaklah besar2 amat dibanding bahkan boleh jadi dengan pengeluaran tidak penting yg kita lakukan. Apakah kita akan pelit dengan mereka? Tukang sate, bakso yang melintas di depan rumah, tukang servis, tukang sapu, dll, apakah kita akan pelit sekali dengan mereka? Pesuruh, OB kantor, satpam, dll, dll, orang2 yang berada di pondasi piramida kehidupan kita, apakah kita akan kejam sekali kepada mereka? Sangat perhitungan saat menyuruh mereka mengerjakan sesuatu? Pilihannya tergantung pada kita.
Kembali lagi ke ojek tadi. Saya pernah cemas ketinggalan pesawat di sebuah kota. Sopir ojeknya dengan mantap bilang, “Tenang saja, Mas, kita akan tiba tepat waktu." ” Menurut kalkulasi saya, ‘impossible’ tiba di bandara dengan waktu tersisa, mana jalan macetnya ampun2an, saya sudah siap dengan skenario buruknya, tapi sopir ojek melaju dengan yakin, dia banting setir, masuk jalan2 kecil, meniti gang-gang, entah lewat mana, konsentrasi dan fokus. Ajaib, saya tiba lima menit sebelum jadwal cek in ditutup. Berapa biaya ojeknya? Rp 15.000.
Bukan Rp 15.000-nya yang seharusnya menjadi konsentrasi kita. Tapi bayangkanlah jika telat? Tiket pesawat hangus, sy juga harus menunggu jadwal pesawat berikutnya, yang itu berarti besok, hilang waktu, nambah biaya hotel, dll. Sy menyerahkan uang tips kepada sopir ojek, bilang banyak2 terima kasih, kemudian berlarian masuk ke bandara. Bukan karena sy ini tajir gila, makanya bisa ngasih tips Rp 10rb, melainkan dibalik itu semua, murah sekali itu tips 10ribu dibanding jika sy telat.
"Hargailah mereka. Jangan sampai, kita pelit, medit sekali dengan orang2 kecil di sekitar kita, tapi justeru royal kepada hal2 yang justeru berada di atas kita."
*Tere Liye

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SIPENCATAR

Fana